Kamis, 19 September 2013

CERPEN

  • Pendidikan 

Semua Karenamu, Ayah

Aku tak pernah membayangkan akan bisa kuliah di perguruan tinggi. Hal itu mengingat akan pekerjaan orangtuaku sebagai tukang kayu. Pekerjaan tukang kayu sekarang sudah tidak menjanjikan, karena kayu-kayu untuk kerangka atap rumah sekarang sudah banyak digantikan oleh baja. Lagi pula penghasilannya hanya cukup untuk makan, Sedangkan Ibuku hanya sibuk mengurus rumah tangga. Hal itu sempat membuatku patah semangat untuk mengenyam bangku perkuliahan. Tapi, Ayah jugalah yang membangkitkan semangatku untuk semua itu. Karena ia melihat kalau anaknya ini masih memerlukan pendidikan.
“Dino, sekarang kamu sudah tamat SMA nak, apa langkah kamu selanjutnya untuk kedepan?” tanya Ayah dengan serius sewaktu kami sekeluarga sedang berkumpul bersama.
“entahlah Ayah, saya sendiri juga bingung. Jalan mana yang mesti saya tempuh” jawabku dengan nada yang putus asa.
“apakah kamu berminat untuk kuliah?”
“minat!! Tapi…”
“kalau kamu minat akan Ayah usahakan” jawab Ayah dengan cepat menyambar jawabanku.
“yang benar Ayah?”
“ya, supaya kamu tidak mengikuti jejak Ayah” jawab Ayah dengan menyakinkan.
Karena mendengar hal itulah semangatku untuk kuliah menjadi berapi-api. Hingga aku bisa kuliah perguruan tinggi swasta di Lubuk Alung Sumatra Barat. Untuk menghemat biaya, aku lebih memilih untuk mengontrak di salah satu rumah di sekitar tempatku kuliah. Kebetulan, saat itu ada kontrakan rumah yang super murah hanya Rp. 500.000 per tahun. Dalam satu kamar itu dihuni oleh tiga orang temanku yang juga merupakan mahasiswa di perguruan tinggi yang sama.
Hari itu merupakan hari pertamaku kuliah di kampus tersebut. Dalam perjalanan ke kampus terselip tanya-tanya. Apakah aku sanggup bersaing dengan teman-temanku yang lain? Tapi pertanyaan itu lenyap seketika, mungkin karena langkah-langkah yang tak sabar mengenyam bangku perkuliahan. Sesampainya di ruang perkuliahan, aku disambut dengan jejeran bangku-bangku yang tersusun rapi dan teman-teman yang datang lebih duluan. Di pojok kiri paling belakang menjadi tujuan tempat duduk. Seiring pinggul terhenyak, masuk seorang lelaki tua kurus mengenakan kupiah dan kacamata.
“oh rupanya begini tampilan seorang dosen itu” pikirku dalam hati. Karena semenjak SMA aku membayangkan kalau dosen itu masuk ke ruangan mengenakan jas.
Hari pertama kuliah tidak langsung masuk ke pembelajaran. Kegiatan hari pertama waktu itu hanya diisi dengan penyampaian materi-materi yang akan diajarkan dalam satu semester serta pengenalan diri masing-masing ke depan. Perkuliahan hari itu tak berlangsung lama. Paling lama satu jam kami sudah ke luar.
Untuk sampai ke kontrakan, aku memilih untuk berjalan kaki. Kebetulan saat itu ada juga sekelompok teman yang perempuan pulang bareng. Ku putuskan untuk bergabung dengannya.
“hei!! Kita satu lokal tadi kan? Tanyaku.
“iya, namanya siapa tadi?”
Ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman, tanpa pikir panjang langsung saja ku jabat tangan mereka satu persatu sambil ku sebutkan namaku.
Di perjalanan kami berbicara banyak, mulai dari kampung mereka sampai ke masa-masa SMA mereka. Pembicaraan kami diiringi oleh hiruk pikuknya jalanan yang didominasi oleh mobil-mobil yang berlalu lalang.
Seminggu telah berlalu. Sebagian besar dosen ada yang telah masuk ke materi perkuliahan. Pertama awal pembelajaran kami sudah dihadiahi oleh dosen serentetan tugas. Untuk meringankan tugas-tugas dari dosen, kami membentuk kelompok belajar yang beranggota terdiri dari 7 orang. Setiap tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, selalu kami kerjakan bersama.
Mendekati akhir semester. Kuliahku makin sibuk, tugas tambah banyak. Sebal, gerakku terbatas tanpa motor. Gemas, buku di perpustakaan di tempatku tak begitu lengkap. Hampir saja semangat kuliahku hilang waktu itu. Tapi, kata-kata Ayah masih terngiang di telinga. Ia mengatakan kalau kuliahku ini tidak boleh putus di tengah jalan. Kami dari kelompok belajar menyimpulkan apa-apa saja yang tidak kami pahami, dan kami bahas bersama dengan bahan yang dibekali dari internet dan ada juga dari buku seadanya di pustaka. Selain belajar berkelompok, aku juga belajar penuh di kontrakan, karena minggu depan kami semua UAS. Aku tak ingin mengecewakan Ayah dengan memperlihatkan nilai yang rendah padanya.
Seiring berjalannya waktu, hari UAS pun datang dengan begitu cepatnya. Ku curahkan semua isi otak yang telah ku isi selama ini. Dan Alhamdulillah, hasilnya cukup memuaskan. Nilai itu langsung ku bawa ke kampung untuk ku perlihatkan kepada kedua orangtua. Betapa senangnya Ayah melihat nilaiku. Ia merasa jerih payahnya selama ini untuk menguliahkanku tidak sia-sia. Berkali-kali aku dipeluknya. Nilai semester satuku itu menjadi kado termanis untuk ulang tahun pernikahan kedua orangtuaku.
Tiga setengah tahun berlalu. Semester demi semester ku lalui sekarang tibalah pada tugasku yang terakhir, yaitu menyusun sebuah skripsi demi memperoleh ijazah S1. Ku tumpahkan segenap kemampuan yang ku punya. Dan hasilnya cukup memuaskan pembimbing, walaupun skripsi itu sudah berulang-ulang kali disuruh oleh pembimbing untuk mengulangnya. Gambaran untuk wisuda sudah ada di depan mata. Itulah saat yang paling ku dambakan. Saat itu adalah saat ku mengganti jerih payah yang orangtuaku untuk menjadikan aku orang yang penuh dengan pendidikan.
Tepat pada hari saat ku wisuda, terlihat Ayah dan Ibu berjalan dengan ukiran senyuman yang terpancar di mukanya. Air matanya sempat menetes ketika melihat anaknya mengenakan pakaian wisuda dan toga yang menutupi kepala. Ku cium tangan kedua orangtuaku, sebagai tanda untuk menyambut kedatangannya.

  • Religi

Inikah Takdirku

 Satu – Saksi Moment Pedih itu
“Pergi! Pergi sana! Aku tak sudi bertanggungjawab! Mustahil! Aku hanya sekali melakukannya! Itu pun dalam keadaan khilaf! Jadi, tak mungkin yang kau kandung adalah anakku! Pergi!!!”
Dengan tak percaya kutatap wajah tampannya. Aku tak menyangka ia tega mengusirku. Lebih kejamnya lagi ia tak mau mengakui janin yang kukandung. Memang, ia hanya sekali melakukan itu. Tapi demi Tuhan tubuhku tak pernah dijamah seorangpun selain dia. Ia yang telah merengut kesucianku dengan paksa. Memperk*saku dengan biadab. Jika mengingat itu rasanya aku ingin membunuhnya.
Kuusap air mata yang terasa hangat bergelayut di pipiku. Di bawah pohon mangga belakang rumahku ini, tak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan menyesali nasibku yang sial. Kutatap sekeliling, menatap langit yang sangat terik. Aku tak tahu setelah ini harus kemana kulangkahkan kaki membawa aib yang bersarang di perutku. Aib dari Kang Aldrin, pemuda yang dulu sempat kukagumi.
Kuakui semua tak luput dari kecerobohanku. Andai setelah kejadian tragis itu aku sigap dengan meminum obat macam pun, maka tak mungkin aku sampai telat dua bulan. Tapi juga tak bisa kuelak bahwa batin ini mengutuk perbuatan Kang Aldrin.
Malam itu, pulang dari mengantarkanku kundangan ke rumah temanku yang married, di pekatnya malam yang hanya disaksikan si angin nakal, Kang Aldrin begitu berambisi dengan tubuhku. Seakan mau menerkam tubuhku bulat-bulat. Ia mengforsilku untuk bersikap tenang kala itu hingga sekarang ini bersemayam dalam rahimku benih suci yang oleh empunya tak diakui sebagai anaknya. Bahkan tadi, saat kuminta pertanggungjawaban atas kelakuannya untuk mempersuntingku ia malah dengan garang mengusirku. Seolah mencemooh bodohku yang bisa-bisanya hamil atas kehilafannya. Padahal kan sesungguhnya dalam ilmu biologi apabila sperma sudah bertemu dengan ovum, biar pun itu hilaf maupun sengaja ya tidak bisa disalahkan. Dan ia juga tak boleh sangsi akan benihnya yang saat ini telah kukandung. Tapi ia malah tak ubahnya seekor kucing garong yang sehabis manis sepah dibuang. Begitu mudahnya ia mencampakkanku layaknya sampah yang perlu dicampakkan.
Air mataku meleleh. Sedari dulu, dari jaman penjajahan ke jaman Indonesia merdeka ini, dari jaman Jahiliah ke jaman yang terang benderang ini, selalu saja kesesatan ditaburi dengan keindahan. Dan mungkin itu jurus ampuh Al-A’war yang jahat yang telah mengompori Kang Aldrin untuk memperk*saku. Dan aku, aku yang lemah pun pasrah membiarkan langit runtuh menenggelamkan asaku. Tapi toh biar pun begitu, walau kehormatanku dirampas secara bengis oleh Kang Aldrin, dengan sisa kekaguman yang masih bersinggahsana di hati, aku memaafkannya dan berharap ia mau bertanggungjawab.
Tapi apa?! Ia ternyata tak ubahnya seperti seekor binatang yang tak berprikemanusiaan. Ia manusia namun gagal memperlakukanku sebagai manusia. Dan anarkisnya ia kalah saing oleh hewan yang sama sekali tak berakal sekalipun. Seperti contoh burung misalnya. Burung Rangkok apabila si betina sedang bertelur maka ia dengan rasa tanggungjawabnya yang besar akan mencarikan makan dan senantiasa melindunginya dari godaan burung lainnya. Tapi Kang Aldrin… secuil pun ia kalah.
Sungguh! Mulanya tak pernah kusangka Kang Aldrin yang sumeh, baik dan menawan bisa nekat berbuat seperti itu padaku. Mengforsilku dan memperlakukanku seperti hewan. Padahal dulunya aku sangat berharap banyak padanya. Ia yang sudah sarjana akan banyak mengajariku berjuta kebaikan. Bertumpuk buku-buku yang terpajang di almari ruang tamu rumahnya atau bermacam-macam keteladanan yang baik dengan berdakwah secara langsung maupun tak langsung. Tapi aku salah dan kejadian malam itu senantiasa membuatku terpuruk dalam ketakutan.
Dalam tangis yang masih berurai kuambil foto Kang Aldrin dalam tas ransel yang tersenyum hambar di sampingku. Kupandang foto berukuran 2 x 3 dalam pegangan tanganku. Berkali-kali, dalam lekatnya pandangan tetap tak bisa kupercaya bahwa Kang Aldrin yang menawan, perawakannya tegap dengan tubuh sedikit agak gempal, alis tebal, hidung mancung, bibir sedikit tebal nyaris mirip tokoh kesatria pangeran Gajah Mada, tega menzolimiku. Tega mencampakkanku setelah keluargaku mencampakkanku.
Ayahku, tentu saja ia yang bengis dan angker dalam setiap pandangan anak-anaknya, setelah mendengar dari mulutku sendiri bahwa aku hamil, pagi tadi langsung melayangkan telapak tangannya ke pipiku. Saking banyaknya hingga tak bisa kudeteksi berapa kali ia mendaratkan tangannya ke pipiku yang saat ini masih begitu perih kurasa walau tak sebanding dengan sakit hatiku atas perlakuan Kang Aldrin.
Setelah puas menampar dan memakiku, Ayah langsung menarik kedua tanganku ke kamar. Dan dengan disaksikan Ibu juga kedua adikku, tangan kekar Ayah segera memasukkan baju-bajuku ke dalam tas. Setelah itu dengan bengis ia menarik tangaku untuk ke luar rumah yang tak lain mengusirku secara terang-terangan dengan mata merah menyala-nyala. Ibu yang cenderung tak tegaan tak kuasa membendung tangisnya. Dan sempat kulihat adik perempuanku menangis tersedu-sedu memintaku agar tak menuruti kemauan Ayah. Tentu saja aku mau tapi…, tentu saja tak bisa karena kepala keluarga di rumahku tak lagi menghendakiku tetap tinggal di rumah. Walau jauh kusadari nurani seorang Ayah pasti mengatakan tak tega melihat anaknya yang tengah mengandung terlunta-lunta di jalan melawan kerasnya kehidupan. Tapi mungkin itu Ayah lakukan karena mungkin itu lebih baik daripada aku tetap di rumah menjadi bual-bualan tetangga-tetanggaku.
Ya Tuhan! Begitu beratkah semuanya harus kupikul? Aku harus terusir dari rumah membawa aib kelakuan bejat Kang Aldrin serta mengecewakan Ibu Bapak. Nistakah aku? Entahlah, karena yang tahu hanyalah Dia semata. Dan hanya Dialah yang bisa mendengar keluh kesahku.
Aku, mungkin semua orang di Gangku sudah tahu bahwa aku adalah satu-satunya gadis bodoh yang melempar kotoran di muka kedua orangtuanya. Dan mungkin hanya sebatas itu yang mereka tahu tanpa ingin tahu lebih dalam mengapa Alica Safitri, gadis berpostur semampai, berjilbab, kembang desa, bisa hamil di luar nikah. Mereka tak pernah ingin tahu bahwa sebenarnya aku hamil karena diperk*sa bukan karena berzina. Si pemerk*sa itu adalah Kang Aldrin anak Pak Lurah yang juga segank dengan mereka. Tapi mana sudi orang-orang ghibah itu mendengarkan penjelasanku. Karena yang mereka tahu aku telah hamil tanpa suami. Dan naasnya aku tak punya bukti akurat bahwa kehamilanku karena diperk*sa. Sungguh sayang sekali pekatnya malam dan angin nakal yang menjadi saksi moment pedih itu.
Aku berdiri lalu mulai melangkah. Aku ingin walau aku telah dicap hina, pezina, terpapa karma, tapi aku tak begitu saja mati dimakan dunia. Suatu saat andai aku bisa, dengan kemampuanku kan kubuktikan pada semua orang bahwa dengan aib serta kehinaan yang menemaniku ini aku bisa tetap hidup. Tapi sekali lagi saat aku belum benar-benar menghentakkan kaki, inginku pandang berlama-lama pekarangan belakang rumahku ini. Yang dulu saat kumasih berumur tujuh delapan tahunan saat main petak umpet, aku sering nangkring di pohon mangga, ke miri dan sembunyi di rerimbunnya pohon kopi.
“Ayah, Ibu…, aku pergi. Maafkan aku…, tapi aku janji suatu saat aku ingin semua orang pun tahu bahwa si pemerk*sa putrimu ini adalah Kan Aldrin, anak Pak Lurah yang dermawan itu.”
Akhirnya dengan tangis yang terus berurai di sepanjang jalan yang kulalui, sampai juga aku di sebuah rumah. Walau tak terawat tapi di SP 1 ini., di rumah Pakdeku yang sudah tak lagi dihuni, aku ingin membuktikan pada dunia bahwa aku bisa berdiri sendiri.

  •  Humor

Gamer Sejati Mencari Cinta

 Malam sudah terlalu larut saat Ali amran masih berkutat di atas keyboard komputernya. Tangan kanannya masik asyik memainkan mouse dengan gerakan yang bervariasi. Maju mundur, kanan-kiri. Cepat sekali. Matanya masih kuat menatap layar monitor yang terbilang cukup lebar. Dari wajahnya jelas sekali tampak kegembiraan bercampur keseriusan kala menatap layar yang cukup terang. Rupanya sebuah game fps online sedang asyiknya ia mainkan. Lupa kalau jarum panjang dan pendek jam dinding di atasnya sudah berimpit menjadi satu. Game online memang sering mebuatnya lupa akan segala hal. Temasuk makan, tidur bahkan mencari pasangan untuk menemani kegundahan hatinya. Baginya game adalah hidupnya. Dan hidupnya adalah untuk game. Ia akan sangat sanggup jika diajak betanggang sampe berhari-hari di depan layar komputer hanya untuk bermain game online. Baginya itu adalah kesenangan yang tidak dapat dibayar dengan apapun. Terbukti untuk mendapatkan kesenangan itu ia rela menghabiskan banyak uang demi sebuah game yang menurut Putrari –teman satu kontrakannya- sangat membosankan. Namun ada sisi lain dari hatinya yang gundah walau game favoritnya sedang ia mainkan. Sebuah undangan pernikahan dari teman karibnya. Temannya yang dulu sering menemaninya betanggang di warung-warung internet. Teman yang dulu sama-sama merasakan pahit manis, getir dan sakit sebagai seorang gamer sejati. Namun Kini ia sudah akan melepas masa lajangnya.
Ia berkaca diri memutar memori lama tentang sahabat karibnya itu. Kalau dipikir-pikir, ia tidak kalah ganteng dari temannya itu. Setidaknya beda tipis. Ia juga tidak kalah cerdas dari temannya dalam hal merayu wanita. Walau ia sering banyak menyontek dari situs-situs di dunia maya. Ia merasa dijengkali, ada rasanya dia ingin seperti temannya itu. Punya pacar yang lumayan, dan kemudian menikah. Karena memang umur mereka sudah terbilang cukup untuk membangun sebuah bahtera rumah tangga. Tapi sayang jangankan menikah, pacar pun tidak ada.
Mouse yang sedari tadi ia gerak-gerakkan tiba-tiba berhenti. Ali menghela napas panjang. Dalam benaknya terlintas untuk mulai mecari pasangan walau hanya sebatas pamer dengan teman-temannya. Malu rasanya dikala teman-temannya sudah punya pasangan masing-masing, tapi dia sendiri hanya jomblo sejati. Ia bangkit dengan rasa pening yang menggigit karena terlalu lama di depan layar monitor. Mencuci muka adalah solusi yang baik untuk menyegarkan pikiran dan menghilangkan sedikit rasa peningnya. Kemudian kembali duduk terpaku di depan layar yang mungkin sudah bosan menatap wajahnya.
Pikiran mulai menerawang jauh memikirkan rencana-rencana yang akan ia ambil untuk mencari seorang pasangan. Ia mulai dari yang sederhana dengan membuka situ facebook dan log in ke akun miliknya. Temannya lumayan banyak, rata-rata cewek cantik dengan pakaian seksi dan gaya yang menggoda. Namun sayang dia cuma penggombal di dunia maya. Tidak banyak keberanian dalam dirinya untuk menemui langsung wanita yang ia idam-idamkan seperti pada wanita di akun miliknya.
Ada satu nama yang sering mengganggu pikirannnya. Seorang gadis dengan rambut panjang terurai hingga melewati bahunya. Mata yang lumayan besar dan lembut menatap mengisyaratkan keinginan untuk selalu diperhatikan setiap lelaki. Kulitnya terbilang putih dengan sedikit jerawat di sekitar pipinya. Nama gadis ini Sisilia. Gadis yang selalu ia sapa walau hanya lewat pesan singkat di facebook. Chattingan-nya acap kali tidak dibalas Sisilia setiap ia dan Sisilia kebetulan online. Tapi tidak mematahkan semangat Ali untuk mendapatkan hati si gadis. Segala macam cara ia kerahkan. Mulai dari kata-kata mutiara, puisi hingga cerpen-cerpen alay khas anak remaja yang entah di mana ia dapatkan. Sayangnya reaksi si gadis tidak seperti harapannya.
Ali memukul-mukul lembut keningnya dengan dengan jarinya yang sudah menghitam karena terlalu banyak menghisap rok*k. Matanya mulai menerawang menebus pusaran waktu. Ia mulai mencari memori-memori kala ia sukses mendapatkan hati seorang gadis di SMA dulu. Mungkin caranya dulu bisa juga ia gunakan untuk medapatkan hati Sisilia, wanita dengan bibir merah merekah. Pikirannya sedikit berhenti pada suatu pola rencana. Wajahnya sumringah seolah ia baru memenangkan sebuah lotere besar. Dan ia yakin mungkin rencana ini bisa medapatkan hati si gadis.
Tanpa pikir panjang, Ali Amran si gamer sejati mulai melancarkan serangan. Ia mengirimkan pesan singkat lewat inbox si gadis. Isinya menyatakan bahwa ia memiliki 2 tiket nonton film Bodyanguard. Sebuah film Bollywood yang dibintangi Salman khan dan Karina Kapoor. Kebetulan Sisilia adalah penggemar berat film dari Negara yang punya bangunan indah Taj Mahal itu. Selama ini Ali tidak berani mengajaknya bertemu langsung. Tapi karena waktu sudah mepet, ia terpaksa memberanikan diri kopi darat dengan gadis yang masih satu kota dengannya.
Pintu rumah dibuka saat Ali masih sibuk merangkai kata-kata yang pas untuk mengajak Nonton si Gadis. Ia tidak menyadari Kimus teman satu kontrakannya masuk dan menepuk pelan pundaknya.
“yah li, serius kali nampaknya ni ya?” ucap Kimus menggoda setelah melirik sedikit pesan singkat yang sedang susah payah dirangkai Ali.
Kontan Ali terkejut, segera ia buka tab lain di Mozilla untuk mengalihkan perhatian. Wajahnya sedikit merah. Mungkin malu. Karena sebagai gamer, ia pernah sesumbar Anti dengan yang namanya “kata-kata Alay” untuk mendakati cewek. Baginya gamer sejati harus turun langsung kelapangan untuk menyatakan cinta. Tidak perlu bertele-tele. Namun kenyataan membuatnya harus menelan kembali ludahnya.
“Alaah, gitu aja sembunyi-sembunyi li..” kimus kemudian beranjak ke tempat tidur dan menghempaskan diri di atasnya setelah seharian jalan-jalan dengan pujaan hatinya. Tak lama, suara dengkur keras terdengar dari balik kamar.
Ali kembali membuka pesan yang sudah dibuatnya. Dibacanya kembali dan ditimbang-timbang mana tau ada kata-kata yang tidak pas dan tidak nyambung. Setelah semua siap, dengan mantap ia mengirim pesannya ke si Gadis yang selama ini dia dambakan untuk memilikinya.
Besoknya, kegelisahan tampak menghinggapi pikirannya. Sudah seharian ia tunggu balasan dari Sisilia. Tapi tak kunjung jua tiba. Apakah ia salah mengirim pesan? Atau kata-katanya terlalu lebay? Atau si gadis memang tidak mau menerima ajakannya? Semua kegundahannya membuat risih Reja teman satu kontrakannya juga. Sebagai pria yang terbilang sukses mendapatkan hati setiap wanita, ia tahu betul kegelisahan apa yang membuat temannya yang jarang mandi ini uring-uringan.
“Manga Ang yuang? “Tanya Reja dengan bahasa minang yang kurang lancar. Karena memang dia bukan asli keturunan minang, tapi keseringan bergaul dengan teman-temannya yang rata-rata minanglah membuatnya sedikit paham bahasa minang.
“Alun makan lai, ba a lai..” jawab Ali singkat.
“makanlaaah…”
“ndak ado nan lamak do jha..”
“ba a tu? Ang kasmaran atau ndak ado pitih?”
“Ntahlah”
“coba tengok aku li,” kata reja kali ini tidak memaksakan diri berkomunikasi dengan bahasa minang sambil menunjuk dirinya sendiri.
“ganteng, putih, tinggi, dan idaman setiap wanita dan..”
“bukan, bukan itu maksudku.” potong Reja cepat daripada membuat hidungnya mengembang. “coba lihat aku, walaupun aku banyak masalah di kantor atau aku sering betengkar dengan Rea, tapi aku tetap happy.” Katanya sambil mebuat senyum lebar yang dipaksakan.
“alah, banyak cerita, kau pun sering ku tengok ngerok*k diam-diam di kamar kalau lagi ada masalah kan.” Sindir Ali.
Reja menggaruk-garuk kepalanya pelan kemudian beranjak meninggalkan Ali dengan segudang kegalauannya. Sebelum berangkat kerja, Reja memberikan sedikit tips untuk mengatasi kekurangan percaya diri di depan cewek setelah Ali akhirnya mau cerita tentang masalahnya. Namun hanya dianggap angin lalu oleh Ali yang dijuluki si Kuali oleh si Reja ini. Memang mudah untuk mengucapkan daripada melakukan. Begitulah Ali Amran, terbilang sulit menerima masukan dari teman-temannya.
Tapi nampaknya tidak berselang lama. Sebuah message yang menimbulkan suara “ting” dari Blackberry Ali setidaknya memudarkan wajahnya yang sedari tadi seperti jeruk purut. Pesan Fb yang selama ini dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dibacanya dengan napas yang sedikit tertahan. Isinya kontan membuat Ali berteriak senang dan melompat-lompat kegirangan. Kimus yang sedari tadi masih tidur di kamar sebelah ikut berteriak. Bukan teriakan senang, tapi teriakan marah karena telah merusak waktu istirahatnya yang berharga.
Ali secepat kilat menyambar handuk yang mungkin sudah 3 minggu belum dicucinya tanpa menghiraukan makian Kimus yang sudah mencak-mencak. Di pikirannya hanya terlintas mandi dengan sabun super wangi, gosok gigi dengan pasta super pemutih gigi, berkumur dengan obat kumur super pedas dan membuat lidah terbakar. Sakit girangnya ia sampai salah membedakan mana yang pasta gigi dan mana yang sampo. Tak lupa juga ia memakai deodoran dan parfum super bikin hidung kembang kempis.
Dan akhirnya, di sinilah Ali. Dengan meminjam sepeda motor Kimus ia sampai di Bioskop yang tak jauh dari rumahnya. Tak sabar rasanya melihat langsung pujaan hatinya dari dekat. Melihat wajahnya yang baby face, rambutnya yang panjang terurai, kulit putih yang bersinar dan bodi yang aduhai. Pikirannya melayang jauh membayangkan dirinya dan pujaan hati dari dunia maya itu bermesra-mesraan di sebuah taman yang indah. Dengan bunga-bunga merekah ditemani secangkir teh panas dan sebatang rok*k. Alangkah seronoknya bak dalam film-film Alay yang sering membuatnya jijik. Namun kali ini ia sangat mendambakan adegan-adegan film-film alay itu hadir dalam hidupnya.
Sekilas adegan dalam pikirannya tiba-tiba sirna saat seorang gadis pendek menabrak dirinya. Kalau dilirik, gadis ini punya mata bulat dengan wajah bopeng-bopeng karena jerawat. Rambutnya panjang dan diikat. Kulitnya agak hitam. Setelah meminta maaf, si gadis ini kemudian duduk di salah satu kursi yang tidak jauh dari tempat Ali berdiri. Memainkan laptop yang dikeluarkan dari tas sandangnya yang besar dan memesan 1 cup cappuccino dingin. Sesekali dia melirik jam tangan dengan gundahnya. Jelas sekali dia sedang menunggu seseorang.
Sudah hampir satu jam lebih dari waktu yang dijanjikan. Kaki Ali rasanya sudah kesemutan setengah mati. Namun pujaan hatinya tidak kunjung datang. Mau nelepon tapi nomor tak ada, pulsa pun tak ada. Mau kirim message, kebetulan paket internetnya habis tak lama setelah ia sampai di bioskop. Jadilah ia sabar menunggu dengan tampang iri melihat muda-mudi bergandengan sambil memesan 2 buah tiket sambil sesekali cekikikan mesra. Tidak berbeda jauh dengan gadis di dekatnya. Sudah 3 gelas cappuccino ia habiskan. Berkali-kali dengan wajah cemberut bak jerut purut ia memandangi terus jam tangannya. Mungkin karena sudah bosan menunggu ia beranjak dari tempat duduknya. Merapikan laptopnya dan pergi tanpa minta maaf setelah untuk kedua kalinya ia menabrak Ali.
Mungkin karena sudah tidak tahan lagi menuggu, Ali juga mengambil langkah yang sama. Mengikuti si gadis ke luar dari ruang tunggu bioskop dengan wajah merah padam karena menurutnya ia sudah dipermainkan. Setelah ke luar dari parkiran, ia memacu sepeda motornya sekencang-kencangnya dan hampir saja menabrak uwak-uwak tukang becak. Kesal, marah, dan sedugang rasa emosi dan kecewa sudah memenuhi pikiran dan perasaannya. Ingin rasanya ia menabrak sepeda motor yang dinaiki pasangan muda-mudi yang bermesra-mesraan tanpa memikirkan perasaan orang-orang jomblo di sekitar mereka. Mungkin itu cukup mengobati rasa sakit hatinya.
Sebelum sampai di rumah, ia singgah dulu di konter pulsa. Sekedar mengisi pulsa dan membeli paket internet untuk mendapatkan penjelasan dari cewek yang sudah membuatnya kecewa. Tak sabar menunggu, ia langsung berselancar ke dunia maya dan membuka akun facebooknya. Mengirim pesan ke inbox Sisilia. Hanya pesan yang singkat.
“saya sudah menunggu hampir 1 jam, tapi kamu tidak jua saya temukan. Kamu di mana?”
Ali memang tidak menggunakan foto aslinya dalam akunnya. Hanya gambar salah satu karakter dalam game yang sering ia mainkan. Ia hanya mengatakan bahwa ia menggunakan baju kaos pendek warna biru dengan celana jeans panjang warna hitam. Ada tulisan “Gamer Is Never Die” pada belakang bajunya agar mudah ditemukan si cewek. Di benaknya muncul sedikit keraguan apa banyak juga yang menggunakan baju yang sama seperti dirinya. Ah tapi tidak, Ali menyangkal, karena bajunya termasuk limited edition hadiah dari turnamen game yang pernah ia ikuti. Sedangkan si cewek sebaliknya. Ia tidak mengatakan akan menggunakan apa untuk pertemuan nanti. Ia hanya mengatakan ikutilah hati nuranimu, pasti ketemu. Dasar sinting pikir Ali. Satu-satunya pentunjuk hanya foto-foto di akun facebook si cewek yang sangat ia hapal dalam kepalanya.
Hari sudah mulai gelap saat Ali sampai di rumah. Terdengar suara ribut dari dalam rumah. Suara khas yang sangat dikenal Ali. Siapa lagi kalau bukan Kimus Salihani, temannya yang suka ngocol dan sering membuatnya terpingkal-pingkal. Tapi kini Kimus tampak sedang tidak bercanda. Wajahnya yang kusut dengan tahi mata yang masih menempel di mata menandakan ia baru saja bangun.
“woii li, ko Nampak baju aku?” Tanya Kimus sedikit lantang.
“Mana tahu aku, aku aja baru pulang.” Jawab Ali santai sembil membuka kaosnya yang sudah basah oleh keringat. Kemudian dilemparkannya sembarangan ke tempat tidur. Merupakan kebiasaan buruk Ali yang terbilang malas meletakkan baju kotor ke tempat pakaian kotor. Padahal sudah disediakan satu orang satu keranjang untuk pakaian kotor oleh Putra yang juga satu kontrakan dengannya.
Kimus yang kelihatan pusing mencari baju kesayangannya langsung berubah ekspesi. Wajahnya merah padam. Matanya menatap nanar Ali sambil telunjuknya mengarah pada Jomblo Sejati ini.
“Muka sempaak, ko rupanya yang pakai baju aku ya, cape aku nyarinya. Ni baju pemberian Lia. Mana harus ku pake hari ini buat jalan-jalan nanti. Sekarang udah bau sempak gara-gara keringat ko!”
Ludah Kimus ampe muncat kemana-mana. Gunawan –teman 1 kontrakannya juga- yang kebetulan lewat di depannya juga kena imbasnya. Saat Gunawan hendak mengelap percikan ludah Kimus yang mengenai wajahnya, Ali mengambil baju yang dilemparnya tadi. Membolak-balik baju dan memeriksa dengan teliti. Spontan ia menepuk keningnya setelah menemukan kesalahan fatal yang pernah ada dalam hidupnya. Ternyata di belakang Kaos itu bukan tertulis “Gamer Is Never Die” tapi Tulisan berbeda yang membuatnya sedikit geli. “Lover Is Never Die.” Mungkin karena terburu-buru ia tidak memperhatiakan baik-baik tulisan itu.
Tanpa memikirkan Kimus yang mencak-mencak karena sudah mengotori baju kesayangannya, Ali menyadari alasan mengapa si gadis tidak dapat menemukannya. Dengan kesal ia lempar kaos ke muka Kimus tanpa rasa bersalah dan cepat-cepat membuka akun fbnya kembali. Untung saja ada panggilan telepon di handphone milik Kimus. Dari ringtonenya jelas itu dari pacarnya. Kemarahannya sedikit mereda.
Ali tidak sabar mengirim pesan pada si cewek. Meminta maaf karena salah memberikan informasi. Sebelum sempat memijit-mijit tombol QWERTY Blackberrynya, tiba-tiba ada 1 pesan masuk. “Dasar cowok sialan. Mempermainkan aku ya?! Sudah 1 jam aku tunggu. Gak ada cowok yang Makai baju kaos “Gamer Is Never Die.” Yang ada ku tengok tadi cowok bertampang bloon dan paok yang Makai baju “Lover Is Never Die!”
Begitulah pesan yang dibaca sekilas si Ali. Singkat, padat, dan berisi atau lebih tepat disebut pedas dan menusuk. Dibantingnya handphonenya ke atas tempat tidur. Kemudian duduk terkulai di depan layar monitor yang sudah terlalu bosan ia pandangi. Tatapannya kosong dan menerawang jauh memikirkan kebodohan yang telah diperbuatnya. Rasanya tidak adil kalau hanya dia yang dihakimi. Bukankah si cewek juga begitu? Membiarkan dirinya menemukan dengan susah payah si cewek hanya dengan berbekal petunjuk foto facebook. Bukankah itu egois? Lagian dia juga tak kalah lama menunggu si cewek. Satu jam lebih jua.
Kalau diingat-ingat kembali, ada satu cewek yang juga menunggu lama sama seperti dirinya. Cewek bertubuh pendek, berwajah bopeng-bopeng dan kulitnya agak hitam. Ah pasti bukan dia, pikir si Ali. Sisilia yang dikenalnya di facebook justru kebalikannya. Tapi bagaimana kalau seadainya itu memang Sisilia? atau memang foto-foto yang selama ini dipamerkan itu adalah bukan Sisilia yang sebenarnya?
Ada pikiran kecewa bercampur malu dalam benaknya. Kecewa kalau seandainya cewek yang selama ini selalu mengisi relung hatinya bukanlah seperti harapannya. Malu kalau seandainya teman-temannya tahu, kalau sebenarnya cewek yang selalu dibangga-banggakannya di depan mereka –melebihi pacar mereka– bukanlah seperti yang ia ceritakan. Apalagi kalau melihat tabiat Kimus yang suka mencari bahan lelucon dari dirinya. Mau ditaruh di mana nanti mukanya. Kepalanya digelengkan kuat-kuat membuyarkan semua pikiran negatifnya.
“Tidak, pasti bukan dia.” Ali mencoba memberikan pikiran positif dalam kepalanya.
Yang namanya penasaran tetaplah penasaran. Untuk itulah, dia memberanikan diri bertanya langsung kepada Sisilia pakaian apa yang ia kenakan waktu itu.
“Maaf Sisilia, saya tidak mempermainkan kamu, bahkan saya juga menunggu kamu. Saya salah memakai baju. Ternyata saya menggunakan kaos sama persis dengan yang kamu bilang. Itu memang saya. Maaf sekali lagi.” tulis Ali. Setelah berpikir sejenak kemudian ia melanjutkan, “Kalau boleh saya tanya, apakah kamu menggunakan baju kaos merah yang di depannya ada tulisan ‘Jodoh itu Datangnya Tiba-tiba?”
Kemudian mengirimkan pesannya itu tanpa pikir panjang lagi.
Sambil menunggu jawaban Sisilia, Ali memantik rok*knya dan menghisap kuat-kuat sehingga membuatnya terbatuk-batuk. Begitulah kebiasaannya kalau sedang dilanda kecemasan atau kebosanan. Kalau seandainya jantungnya bisa berbicara, pasti dia akan mengatakan, “Semoga bukan dia, semoga bukan dia.” Tak lama setelah Kimus selesai mandi dan mengenakan baju kaos hitam dengan gambar sempak besar di depannya, balasan yang ditunggu-tunggupun akhirnya datang jua. Pesannya cuma 3 kata. Tiga kata yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. 3 katanya yang membuatnya berpikir cinta di dunia maya itu adalah cinta yang buta dan sia-sia.
“Ya Itu Aku!” begitulah pesannya.
Tidak pernah dalam sejarahnya dia merasakan sakit yang sangat di hatinya. Sakit merasa dibohongi dan dikecewakan. Sebuah undangan pernikahan dari teman seperjuangan di dunia game dulu menambah rasa sakit itu. Apa gamer gak bisa lover? Atau gamer harus tetap selamanya menjadi gamer? begitulah pikiran bodoh melintas kembali dalam benaknya.
Besok-besoknya, Ali jarang sekali membuka kembali akun facebook miliknya. Jangankan membuka, mendengar kata facebook atau sosial media lainnya membuatnya jijik. Baginya sekarang adalah menghibur diri sepuas-puasnya di depan layar monitor dengan game fps online favoritnya. Keinginannya untuk memiliki pacar secepatnya ia buang jauh-jauh. Ia juga mengacuhkan sindiran-sindiran Kimus yang acapkali mengganggunya. Di benaknya sudah ditanamkan doktrin, “Gamer adalah pria sejati” sebagai penghibung dirinya yang sudah lama menjomblo.